“Saya
punya Kartu Kredit macet di beberapa Bank. Jadi karena Kartu Kredit
macet tersebut, beberapa kali saya mengajukan pinjaman selalu ditolak
dengan alasan black list. Padahal saya hanya mengajukan sekitar lima
ratus juta rupiah sementara nilai jaminan saya ada sekitar
satu milyar lebih. Mengenai perputaran dana di rekening Tabungan selain
aktif, juga cukup untuk mengcover syarat pengajuan pinjaman yang saya
ajukan.”
“Yang mau saya tanyakan, bisa tidak black list tersebut dihapus?”
Demikian pertanyaan yang berkaitan dengan black list yang
pernah saya terima dari seseorang, sebut saja namanya bapak A melalui
handphone yang kemudian dilanjutkan dengan tawaran kalau bisa menghapus
black list yang dimaksudkan beliau bersedia mengalokasikan dana sepuluh jutaan sebagai success feenya.
Sekilas dari hasil pembicaraan tersebut, dua syarat penting untuk pengajuan pinjaman sesuai yang diinginkan si penelepon tadi yaitu
aspek financial (untuk segi kemampuan mengembalikan pinjaman melalui
angsuran) dan aspek collatoral (nilai jaminan untuk memback up pinjaman)
sudah memenuhi. Permasalahannya hanya tinggal di masalah Character yang
biasanya digali dari hasil BI Checking, yang menurut si bapak A tadi menghasilkan informasi black list.
***
Sebelum ke topik.
Yang pertama, masalah Karakter.
Masalah karakter ini merupakan hal utama dalam prinsip pemberian Kredit. Oleh karena itulah masalah karakter ditempatkan pada urutan pertama dari prinsip 5 C dalam pemberian kredit.
Kenapa masalah karakter ini sangat penting? Penjelasannya adalah bahwa meskipun calon nasabah mampu, tapi kalau tidak mau bayar bagaimana? Nanti repot urusannya. Ditagih dengan kasar? Bisa jadi masalah. Ditagih dengan lemah lembut? biasanya tidak
akan berhasil. Buktinya seperti contoh bapak A tadi, sampai sekarang
ada kartu kredit macet. Padahal dari informasi yang diberikan yang
memiliki jaminan sekitar satu milyar, dapat diartikan dia orang mampu.
Tetapi kenapa dia mempunyai kredit macet? Berarti karena dia tidak mau
bayar.
Okelah,
kalau kartu kredit karena tidak ada jaminan mungkin berani untuk
membiarkan untuk macet. Entah sengaja maupun tidak sengaja. Tapi ini kan
ada jaminan? Nanti tinggal dieksekusi saja kalau tidak mau bayar. Mungkin seperti itu pertanyaan yang akan timbul
sehubungan dengan pengajuan kredit yang ada jaminan namun tidak lolos
dengan masalah Karakter yang diinterpreasikan dari hasil BI Checking.
Pertanyaan ini juga sering menjadi pertanyaan karena tidak lolos dari
penilaian aspek financial (keuangannya). Seolah-olah dengan
adanya jaminan yang mencukupi, penilaian aspek yang lain bisa
diabaikan. Inilah persepsi yang salah dari banyak calon peminjam.
Saya sendiri pernah mendapat pertanyaan sinis dari
calon peminjam yang sebelumnya berkonsultasi dulu dengan saya, seperti
ini:”Kan ada jaminan? Yang mau saya pinjam hanya seratus juta. Jaminan
saya kan satu milyaran?”
Bagi
pihak bank, biasanya tiga syarat utama tadi merupakan satu paket.
Artinya salah satu syarat dari paket tersebut tidak terpenuhi, otomatis
syarat yang lain gugur dengan sendirinya. Dalam hal jaminan tadi, bank
tidak ingin menguasai jaminan. Bank tidak butuh rumah, tanah atau
property yang dijaminkan untuk dimiliki. Bank hanya butuh dana yang
dipinjamkan bisa kembali utuh sesuai perjanjian. Sementara untuk
mengeksekusi kalau terpaksa harus dieksekusi, memerlukan waktu dan
proses yang sangat panjang. Apalagi ada yang hingga ke pengadilan
segala. Belum lagi harus memaintanance administrasinya dari waktu ke
waktu.
Seperti
salah satu contoh di atas. Pinjamannya hanya seratus jutaan. Tapi mau
mengeksekusi yang nilainya satu milyaran karena misalnya pinjamannya
akhirnya macet. Bank pasti dalam posisi yang sulit. Karena yang punya
rumah pasti berusaha dengan segala cara untuk mempertahankannya.
Biasanya yang punya rumah pasti bilang begini: ”Masa hanya pinjaman
seratus jutaan mau mengeksekusi satu milyaran?”
Saya juga mungkin akan mengatakan seperti itu kalau misalnya kasus seperti itu terjadi pada saya.
Yang kedua, masalah black list.
Banyak yang sering salah kaprah mengenai penggunaan istilah Black List ( Daftar Hitam) Bank Indonesia.
Kenapa dibilang salah kaprah?
Karena
pada dasarnya khusus mengenai kredit macet, baik kredit macet kartu
kredit maupun kredit macet lainnya, Bank Indonesia tidak pernah
mengeluarkan Daftar Hitam. Bank Indonesia mengeluarkan Daftar Hitam biasanya hanya yang terkait dengan cek kosong.
Sistim Informasi Debitur yang dikelola oleh Bank Indonesia, yang out putnya dari
Sistem Informasi Debitur hanya menyangkut informasi indentitas debitur
dan kondisi fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima meliputi plafon,
baki debet, jangka waktu pembiayaan, dan kondisi (historis) pembayaran
selama 24 bulan terakhir sejak posisi data dalam BI Cheking tersebut di
up date (oleh pelapor yang dalam hal ini bank kreditur). Itupun per individu. Bukan dalam bentuk List ( Daftar). Oleh karena itulah makanya disebut Informasi Debitur Individual (IDI).
Oleh karena itu, sekali lagi jangan salah kaprah dengan Black List Bank Indonesia, karena istilah itu tidak dikenal dalam Sistim Informasi Debitur.
***
Kembali ke topik.
Mungkin tentu saja si Penelepon tadi gemas. Bahwa hanya karena masalah BI Checking, fasilitas pinjaman yang seyogiyanya bisa dia dapatkan, termasuk nilai nominalnya yang mungkin sangat
sesuai dengan keinginannya, jadi gagal total. Tak heran kalau dia
berani menawarkan sepuluh jutaan, apabila bisa mematahkan rintangan yang
ada tersebut. Kalau itu baru penawaran pertama, berarti naik sekitar
lima jutaan lagi mungkin masih bisa. Apalagi katanya rencana penggunaan dananya untuk membiayai proyek yang ditanganinya. Artinya keuntungan dari proyek biasanya besar.
Mungkin perlu sedikit penjelasan. Informasi lolosnya dua aspek penting yang
terkait dengan aspek kelayakan keuangan dan aspek kelayakan jaminan
bisa didapat dari bagian Marketing atau Account Officer (AO) yang
dihubungi atau menghubungi calon debitur. Sementara untuk masalah BI
Checking ada petugas khusus yang menanganinya, jadi tidak bisa langsung
didapat dari petugas Marketing atau AO tadi. Nah dari contoh seperti
itulah si Bapak A tadi sudah bisa memastikan kelayakan aspek
financialnya untuk kemampuan mengangsur pinjaman sesuai yang diminta,
berikut jaminan yang akan memback upnya.
Saya sudah tidak ingat lagi bagaimana persisnya bahasa saya ketika menjawab pertanyaan
sekaligus permintaan si Bapak A tersebut. Namun inti jawaban saya ke
bapak A itu adalah bahwa pada dasarnya BI Checking bisa dihapus, namun
dalam hal untuk memenuhi keinginan seperti yang dijelaskan, sangat tidak memungkinkan.
Lemas jadinya bapak A itu mendapat jawaban yang kurang sesuai harapannya dari saya. Tapi itu ketika awalnya saja. Selanjutnya dia merasa tenang, karena dia bisa memastikan tidak akan tercebur ke masalah baru yaitu adanya pihak yang menjanjikan bisa memenuhi permintaannya dengan imbalan tertentu.
Bisa
dibayangkan. Kalau misalnya saja yang menjanjikan bisa menghapus BI
Cheking itu minta dua puluh lima jutaan, yang dari arah pembicaraan
sepertinya bapak A itu bersedia mengalokasikan dananya, lenyaplah uang
yang sebesar yang dialokasikannya itu. Berapapun itu jadinya.
***
Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas. Timbul pertanyaan. Yang benarnya bagaimana?
Sesuai
Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia No. 9/14/PBI/2007 Tentang Sistim
Informasi Debitur yang menyebutkan (1) Bank Indonesia dapat melakukan
pengkinian data Debitur yang terdapat dalam Sistim Informasi Debitur
dalam hal : (a) pelapor mengalami pencabutan usaha atau likuidasi: dan /
atau (b) pengkinian data tidak dapat lagi dilakukan oleh pelapor. (2)
Pengkinian data Debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan pemberitahuan tertulis dari pihak yang melakukan
pengelolaan data debitur.
Maka,
merujuk pada peraturan Bank Indonesia tersebut pada prinsipnya data SID
yang out putnya dikenal dengan istilah BI Checking pada dasarnya memang
bisa dirubah atau dihapus. Namun secara teknis pelaksanaannya sangat
ketat sebagaimana yang bisa dibaca dalam peraturan tersebut. Jadi kalau
berniat untuk melakukan penyimpangan, sungguh sangat kecil
kemungkinannya.
Lalu untuk apa dibuat isi pasal (9) tersebut? Yaitu
untuk mengakomidir kesalahan, kelalaian bank yang menyebabkan debitur
complain. Karena pada dasarnya pihak bank juga sering alpa untuk mengup
date data nasabahnya. Jadi kalau misalnya terjadi kesalahan di pihak
bank, lalu nasabah minta supaya datanya diperbaiki, bank wajib
melakukannya. Karena itu hak nasabah. Apalagi sempat mengalami penolakan
pengajuan kredit karena kesalahan pihak bank tersebut.
Teknis
pelaksanaannya, pihak bank mengudate dulu data nasabah yang komplain
tersebut, semenjak kapan mulai kesalahan terjadi. File yang lama di
restore dulu, lalu data yang salah diperbaiki. Setelah itu,
datanya yang sudah benar dicopy untuk dilakukan hal yang sama di bank
Indonesia mengenai restore data yang telah disebutkan. Tentu saja
disertai dengan pemberitahuan tertulis sesuai bunyi pasal 9 Peraturan bank Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Dengan
dilaksanakannya proses pengkinian data tersebut, data nasabah yang
komplain tadi sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
***
Referensi:
· Peraturan Bank Indonesia No. 9/14/PBI/2007 Tentang Sistim Informasi Debitur.
· Peraturan Bank Indonesia No. 8/29/PBI/2006 Tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek Dan / Atau Bilyet Giro Kosong.
· Buku : Risiko Kartu Kredit Karangan Pulo Siregar, Penerbit Papas Sinar Sinanti Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar